Berpisah itu Mudah, Sebuah Cerita Tentang Angkot

DSC00029
Menghubungi si Dia dan bersandar pada angkot hijau

Revolusi Industri ke 4.0 itu akhirnya tiba juga. Era Transformasi Digital yang dimungkinkan dengan kehadiran teknologi smartphone, IoT, komputasi awan dan kecerdasan buatan mulai memakan korban. Robot belum pula datangg. Tetapi bersamaan dengan kehadiran aplikasi ojek daring, kita warga Bandung pun mulai merasakan kepergian angkot. Bukan dari jalanan kota kita. Tapi dari hati kita.

Hampir seluruh daerah di Indonesia saat ini juga menghadapi permasalahan yang sama tentang tidak akurnya alat transporasi konvensional atau angkot dengan ojek online. Hal ini pertama kali dilatar belakangi oleh para sopir angkot yang merasa pelanggannya lebih memilih ojek online sehingga mobil mereka sepi penumpang. Namun sebagian dari kita berpendapat bahwa ojek online merupakah salah satu penemuan terbaik abad ini, setelah kehadiran sabun cair. Siapapun yang salah, yang pasti fenomena ini telah menimbulkan keresahan yang dapat menyebabkan konflik horizontal.

Mungkinkah kedua pandangan ini benar dan tidak benar pada saat yang bersamaan ? Bukankah segala sesuatu dikehidupan ini benar adanya. Hanya saja kita melihat dari sudut pandang yang berbeda. Jika kamu benar dan kita benar maka siapa yang salah ? Mungkin tidak ada. Yang ada adalah kebeneran yang tidak tunggal, yang sangat bergantung pada kacamata yang melihatnya.

Era 2006 – 2007 adalah masa paling dekat saya secara personal, emosional dan spiritual dengan Angkot. Bagaimana tidak, angkotlah yang menemani saya menuntut ilmu ke kampus Institut Teknologi di Bandung. Angkot berwarna ungu, yang saya selalu naiki di pertigaan Cisitu. Terakhir saya kesana, tidak hanya angkot yang sepi, rumah makanpun sepi hingga kios kaki lima pun sepi. Ojek online bukan hanya membawa kabur rejeki para tukang ojek konvensional sejauh 100 meter dari pertigaan penuh kenangan itu tetapi juga rejeki penjaja makanan dan warung. Go-food dan Go-mart secara bersama-sama, perlahan tapi pasti menggerus pencarian ekonomi mereka. Tanpa angkot saya pasti tidak pintar. Tanpa angkot saya tidak bisa belajar. Buktinya, ketika saya coba jalan kaki sendirian tanpa angkot, 30 menit lamanya saya turun dari kosan ke kampus, terlambat dan kehilangan kesempatan untuk ujian tengah semester, menggagalkan niatan saya untuk dapat A.

Angkot berwarna hijau, dimanapun kalian berada, saya ingin berterima kasih. Mungkin tanpa kalian, mantan pacar tidak berubah jadi istri. Pacaran naik angkot sepanjang jalan Dago bukan saja membawa sejuta cinta tetapi juga cerita yang tiada habisnya untuk anak cucu kita. Kisah asmara masa muda, duduk berdekatan dimana lutut bertemu dan pandangan beradu. Yang tidak akan pernah kami lupakah adalah, turun bersama di Jalan Tirtayasa, mengantarkan si dia menelusuri jalanan menemukan sejuta pesona kota Bandung. Kadang tertawa kecil. Kadang gerimis. Namun seringkali senyum indah itu yang saya terima.

01022008803
Menelusuri Cihampelas Walk tiga belas tahun yang lalu

Membicarakan transformasi digital ibarat membaca buku yang tiada habisnya. Transformasi digital ibarat paradoks, sesuatu yang membawa berkah sekaligus membawa musibah. Apakah kita lebih memilih Angkot ataupun ojek tidaklah penting. Tidak ada pilihan yang benar ataupun yang salah. Yang ada adalah pilihan yang kita syukuri. Angkot boleh datang, ojek online boleh pergi. Atau sebaliknya. Yang penting cinta kasih jangan pergi. Jika tidak, dimana lagi Tuhan akan kita temui ?

Seperti lirik lagu yang lagi tenar itu. Kita pernah lama bersama, mencintai angkot sekaligus kesal karena sering berhenti tiba-tiba atau berdiam diri terlalu lama. Tetapi semua titik dikota Bandung ini adalah kita. Walau angkot memutuskan untuk pergi, cerita kita tetap akan abadi.