Agar para pembaca tidak kecewa, akan saya sampaikan di awal, tulisan ini tidak berakhir dengan kesimpulan hal mana yang lebih baik.
Hari ini saya melihat beberapa tweet ditimeline yang memberikan apresiasi terhadap tulisan Alanda Kariza mengenai “Menjadi Budak Korporat”. Sebelum ini terjadi, saya sudah sempat membaca tulisan tersebut beberapa hari sebelumnya. Tulisan yang sangat menarik. Karena bersumber dari pengalaman pribadi, saya dapat merasakan kejujuran dari pengalaman yang disampaikan Alanda.
Melalui tulisannya Alanda menyampaikan pilihannya untuk bekerja di perusahaan multinasional. Saya kutip :
“..saya merasa perlu untuk belajar dari suatu institusi yang lebih besar, dari orang-orang yang memiliki keahlian di bidang tertentu (yang tidak terkenal, mungkin karena mereka tidak memamerkan pengetahuannya melalui media sosial)”.
Melalui tulisan tersebut, Alanda menyampaikan pengalaman pribadinya, banyak hal yang ia pelajari selama bekerja disana. Baca tulisannya agar mendapatkan gambaran lengkap apa yang ia sampaikan.
Di satu sisi, beberapa tahun belakangan, bekerja di atau mendirikan perusahaan rintisian (startup) menjadi opsi yang sangat ‘seksi’. Dan opini bekerja kantoran vs bekerja-mendirikan startup menjadi topik yang sering muncul. Coba baca disini. Atau tulisan kakak senior saya mengapa bekerja di startup. Memang benar, ketika saya kembali ke kampus dan berbicara dengan dosen saya, saat ini ada kecenderungan pendapat bahwa setelah lulus dan mendirikan perusahaan kini dianggap sebuah tren dan keren.
Masing-masing tentu coba menyuarakan argumen sesuai pengalaman yang dialami. Kalau kita lihat, tentu saja berdasarkan background yang berbeda, akan mendukung hal yang dijalaninya saat ini. Wajar sekali. Terutama di society, kita tidak ingin merasa tampak gagal dengan apa yang kita jalani.
Saya sendiri punya pengalaman tersendiri tentang hal ini. Sebagai yang orang yang tidak pernah merasakan kerja di korporasi besar saya tidak punya pengalaman yang bisa diceritakan, kecuali jika masa kerja praktek mau dihitung. Memang, saya punya banyak sekali teman yang bekerja di korporasi besar. Tapi Saya tidak merasa dapat menyuarakan pengalaman mereka sesederhana karena saya belum pernah merasakannya sendiri. Karena bagi saya “mendengar” dan “mengalami” itu dua hal yang sangat berbeda.
Perdebatan bekerja kantoran dan bekerja di-mendirikan startup sebenarnya sudah pernah saya alami dan mengalami puncaknya pada tahun 2010, pada tahun dimana saya baru saja lulus. Sebagai mahasiswa yang baru lulus, tersedia beberapa opsi. Tapi kita khawatir. Khawatir dengan konsekuensi dari opsi yang kita pilih. Karena pilihan ini bisa jadi menentukan langkah kita jauh ke depannya. Khawatir pilihan ini bisa membawa kegagalan. Dan, manusia mana yang menyukai kegagalan.
Kecendrungan kita pada saat seperti ini adalah mencari nasehat dari orang lain. Mendengarkan orang lain menceritakan pengalaman pribadinya dengan secercah harapan kita akan menemukan jawaban. Mencari pembenaran. Atau mencari bahan bacaan, untuk menguatkan hati dalam memilih pilihan. Dan aneh-nya, biasanya kita akan memilih argumen. Memilih pendapat yang sedikit banyak sesuai dengan apa yang sebenarnya tanpa sadar ingin kita lakukan.
Setelah lulus-pun, obrolan seperti ini tidak pernah luput jadi topik pembicaraan. Dalam berbagai kesempatan berkumpul, bercengkrama dengan sahabat-sahabat yang punya tempat kerja yang berbeda, hal ini seringkali mencuat. Dari yang kami diskusikan, tulisan disini cukup akurat. Bekerja kantoran ada enaknya ada tidaknya. Enaknya, deskripsi pekerjaan jelas, gaji jelas, tangga karir jelas, dan bertemu dengan orang yang berpengalaman di bidangnya dan seterusnya. Tidak enaknya, harus kompromi, harus “menurut” dulu karena kita mulai dari bawah, ada struktur dan birokrasi dan lainnya.
Bekerja di atau mendirikan startup ada enaknya ada tidaknya. Enaknya, punya keleluasaan dengan apa yang mau dikerjakan, jam kerja fleksibel, ide lebih mudah didengar dan seterusnya. Tidak enaknya, gaji tidak begitu besar, job desc kadang tidak jelas, pandangan orang tua bahwa hal tersebut tidak aman dan hal lainnya.
Sampai disini, pasti kalian merasa kok tulisan ini tidak jelas, karena tidak menguatkan atau melemahkan salah satu pilihan dibandingkan pilihannya lainnya. Memang, bukan itu tujuannya.
Ada terlalu banyak pilihan di hadapan kita. Menilai seluruh pilihan, menghitung cost-benefit, dan menganalisis berlebihan memiliki kecenderungan akhirnya tidak memilih apapun. Tapi salah satu sahabat pernah mengatakan hal ini tiga tahun yang lalu : Gw memilih tempat dimana gw merasa akan dapat belajar banyak.
Kata kunci yang sama dengan Alanda. Perbedaannya, bagi teman saya, tempat yang dirasanya akan memberikan pelajaran lebih banyak adalah dengan mendirikan perusahaan sendiri. Dari disini saja sudah kontra dengan pendapat Alanda karena menurutnya saat ini tempat yang memberikan pelajaran lebih banyak adalah perusahaan besar.
Empat tahun berselang, setelah saya dan teman-teman saya menjalani pilihan ini masing-masing, ada satu hal yang sadari. Setiap kami, menikmati hidup kami dengan cara kami masing-masing. Tidak peduli itu di perusahaan besar atau di perusahaan sendiri.
Perusahaan besar atau kecil, perusahaan orang atau perusahaan sendiri boleh dianggap sebagai kendaraan. Yang penting adalah tujuan kita. Mobil dan motor sama-sama dapat mengantar kita ke tujuan yang kita inginkan. Tidak pernah ada argumen mana yang lebih baik. Karena ketika kondisi jalanan macet dan padat, pasti Anda setuju kalau menggunakan motor ya lebih enak karena bisa nyelip. Tapi kalau kondisi sedang hujan, pasti Anda setuju kalau menggunakan mobil ya lebih enak karena tidak basah.
Tidak ada pilihan yang jelek, atau pililhan yang baik. Tidak ada pilihan yang benar atau pilihan yang salah. Saya setuju dengan nasehat teman saya beberapa tahun yang lalu.
Yang ada adalah, pilihan yang tidak disyukuri dan pilihan yang disyukuri.