Hari Idul Fitri 1433 memang masa yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga, bercanda gurau, membagi angpao dan mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan maut seperti kapan menikah bagi yg masih single dan kapan punya anak bagi yang sudah menikah tapi belom momongan. Bagi yang anaknya baru satu, kapan si abang punya adek, bagi yang kelas 6SD mau masuk SMP mana dan sebagainya. Keluarga seperti tidak kehabisan pertanyaan.
Hari pertama Idul Fitri,biasanya kita akan ketempat kakak dari ibu saya, yang memiliki 9 bersaudara. Tujuh bersaudara adik beradik tinggal di Pekanbaru dan dua lagi ada di Jakarta. Delapan orang sudah menikah semuanya, termasuk ibu saya yang anak kedua. Total kakek nenek memiliki enam belas cucu. Dapat dibayangkan rumah kakek akan ramai sekali dengan belasan cucu dan orang tua nya masing-masing.
Satu hal yang saya perhatikan, para tante dan om kami selalu membanggakan para keponakannya. Ada sepupu yang sekolah S3 sampe di Swiss, maka keluarga pun akan senang membahas kesuksesan S3 tersebut. Ada adik saya yang berhasil masuk tim PON Riau tahun ini, maka keluarga akan senang menyebut kesuksesan tersebut. Ada satu sepupu yang berhasil masuk UI tahun ini lewat jalur SNMPTN maka keluarga akan bahagia senang menyebut kesuksesan tersebut. Ada satu sepupu yang baru melahirkan anak kedua maka keluarga tertawa bahagia bercerita kesuksesan tersebut. Ada yang akan wisuda tahun ini, ada yang sudah punya penghasilan sendiri, ada yang lagi buka usaha,macam-macam. Seru.
Disanalah saya melihat dan menyadari,bahwa ternyata sukses itu relatif. Untuk menakar sukses seseorang tidak bisa dibandingkan satu dan lainnya. Semuanya punya kesuksesannya masing-masing. Sudah ada jalannya masing-masing. Bagi adik saya yang memang penggemar olahraga, sukses baginya mungkin adalah menjadi anggota tim PON propinsi riau, sesuatu yang tidak setiap warga Riau bisa menjadi bagian dari itu. Bagi Abang saya, mungkin sukses baginya adalah ketika band yang sekarang sedang dirintisnya, mengeluarkan album dan berbicara di jagad industri musik Indonesia, tak peduli bisa maen pingpong atau olahraga. Bagi kakak sepepu saya, mungkin sukses baginya adalah ketika memiliki gelar tinggi S3 lulusan universitas luar negeri, tak peduli apakah ia bisa bermain musik atau menggebuk drum. Bagi saya, mungkin arti suksesnya lain lagi.
Sukses itu relatif. Lalu mengapa ada konsensus mengenai bahwa sukses harus diukur dari berapa gaji yang diterima oleh kita saat sudah bekerja, berapa mobil yang sudah bisa dicicil, berapa rumah yang sedang di bangun, atau berapa tinggi gelar sarjana kita ? Kita sudah terbiasa menakar sukses dengan sesuatu yang mudah terlihat, nominal, jumlah. Sementara kepuasan pribadi saat mengenakan seragam jaket kontingen bukan merupakan sesuatu yang semua orang pahami bagaimana kesulitan dan kebanggaan yang diterima atlet tersebut. Bagi saya,ukuran sukses itu seperti rasa makanan. Kita memiliki ukuran cita rasa sendiri. Ukuran sukses itu seperti menonton film. Orang yang satu dan yang lain bisa berbeda pendapat mengenai bagus-tidaknya film,karena itu tergantung selera.
Menakar sukses adalah bagaimana kita melihat apa yang menjadi keinginan dan kebanggaan relatif pada seseorang dan bagaimana pencapaiannnya terhadap nilai yang sudah dipegangnya dan tidak bergantung pada satu ukuran tertentu seperti nominal atau jumlah. Menakar sukses adalah bagaimana kita menghargai bagaimana perjuangan seseorang relatif terhadap tujuan hidupnya. Itu.